WARTAXPRESS.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menelusuri pihak yang berperan sebagai penampung dana atau “juru simpan” dalam kasus dugaan korupsi pembagian kuota haji 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag). Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1 triliun.
“Perkiraan kasarnya sekitar Rp1 triliun. Nah, siapa yang jadi juru simpan dan digunakan untuk apa saja, itu yang sedang kami dalami,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dikutip dari Inilahcom, Sabtu 20 September 2025.
Menurut Asep, mengungkap peran juru simpan akan mempermudah KPK melacak aliran dana, termasuk siapa saja yang menerima uang hasil korupsi.
“Kalau sudah ketahuan dana terkumpul pada seseorang, itu akan memudahkan penyidik melakukan tracing,” jelasnya.
Untuk memperkuat penelusuran, KPK bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Kami sudah mulai berkoordinasi dengan PPATK, nanti kita telusuri rekening-rekening, misalnya uang ada pada Mr. X, lalu Mr. X ini representasi dari siapa, digunakan di mana saja,” tambahnya.
Kasus korupsi kuota haji ini naik ke tahap penyidikan sejak 8 Agustus 2025 berdasarkan surat perintah penyidikan umum. Meski belum ada tersangka, KPK memastikan pihak yang bertanggung jawab segera ditetapkan.
Kasus bermula dari tambahan kuota 20.000 jemaah haji dari Pemerintah Arab Saudi pada 2023 setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan otoritas Saudi. Tambahan kuota kemudian dibagi lewat SK Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (15 Januari 2024): 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Namun, mekanisme pembagian itu diduga melanggar UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang mengatur kuota 92 persen untuk reguler dan 8 persen khusus.
Dalam praktiknya, terjadi jual beli kuota haji khusus. Biro travel disebut menyetor 2.600–7.000 dolar AS per kuota (Rp41,9 juta–Rp113 juta) kepada oknum Kemenag.
Uang berasal dari calon jemaah yang dijanjikan bisa berangkat 2024 meski baru mendaftar tahun itu. Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah reguler yang sudah menunggu lama gagal berangkat karena kuotanya terpotong.
Dari hasil korupsi tersebut, sejumlah aset dibeli, termasuk dua rumah mewah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang telah disita KPK 8 September 2025.
Rumah itu diduga dibeli oleh pegawai Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag dengan dana setoran travel sebagai “komitmen” pembagian kuota tambahan.