Pemangkasan Tunjangan DPR Dinilai Baru Simbolik, Belum Sentuh Akar Masalah
WARTAXPRESS.com – Kebijakan DPR memangkas tunjangan perumahan dan memberlakukan moratorium perjalanan luar negeri dinilai belum menyentuh akar persoalan ketidakadilan anggaran negara.
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menegaskan bahwa isu utama bukan sekadar soal gaji atau tunjangan anggota dewan, melainkan menyangkut keadilan anggaran serta relevansi kinerja DPR di mata publik.
“Pimpinan DPR sudah mengumumkan pemotongan tunjangan perumahan dan moratorium kunjungan luar negeri, sehingga take home pay menjadi Rp 65,5 juta. Pertanyaannya, apakah langkah ini sudah menjawab kesenjangan yang dikeluhkan masyarakat? Dan apa pembenahan berikutnya?” ujar Achmad, dikutip dari Beritasatu, Minggu 7 September 2025.
Menurutnya, solusi harus dilakukan secara berlapis. Pertama, DPR perlu memiliki ukuran keberhasilan yang jelas, misalnya terkait pengesahan RUU prioritas, pengawasan anggaran, hingga advokasi isu riil masyarakat seperti harga pangan, kesehatan, dan lapangan kerja.
Kedua, diperlukan kontrak sosial baru: publik hanya bisa menerima penghasilan besar jika anggota DPR bekerja dengan target terukur serta dikenakan sanksi bila target tidak tercapai. Ketiga, keterbukaan aset dan konflik kepentingan, termasuk audit acak terhadap LHKPN, penelusuran benturan kepentingan, serta publikasi rapor kinerja tahunan setiap anggota.
Achmad juga menilai sejumlah tunjangan DPR sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Tunjangan beras maupun fasilitas natura lain sebaiknya dihapus, sementara uang sidang perlu dikaitkan langsung dengan kualitas rapat, rekomendasi, dan tindak lanjutnya, bukan hanya kehadiran formal. Ia menambahkan, rasionalisasi tunjangan juga perlu diterapkan hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang kerap meniru pola pusat, padahal kapasitas fiskalnya terbatas.
Meski demikian, Achmad mengakui langkah DPR memangkas tunjangan tetap merupakan sinyal positif. Namun keadilan anggaran, menurutnya, hanya bisa terwujud melalui disiplin kinerja menyeluruh: tunjangan yang rasional, belanja publik yang tepat sasaran, serta tata kelola yang transparan.
“Masih ada ruang pemangkasan dan penataan ulang. Pemangkasan harus cerdas: hilangkan yang simbolik, pertahankan yang mendukung fungsi, dan kaitkan seluruh fasilitas dengan hasil kerja terukur,” pungkas Achmad.

Tinggalkan Balasan