WARTAXPRESS.com – Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan RI periode 2015–2016, yang sebelumnya dijatuhi hukuman penjara selama 4,5 tahun atas kasus dugaan korupsi impor gula. Keputusan ini diumumkan pada Jumat, 2 Agustus 2025, dan langsung menimbulkan respons beragam di kalangan publik dan pakar hukum.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Iwan Satriawan, keputusan ini merupakan hak prerogatif Presiden yang didasarkan pada penilaian pribadi terhadap proses peradilan yang dianggap tidak wajar.
“Presiden menilai ada kejanggalan dalam jalannya persidangan. Karena itu, ia menggunakan wewenangnya untuk menghentikan proses hukum tersebut,” ujarnya, dikutip dari Beritasatu.
Iwan juga menyebut, langkah ini bisa dibaca sebagai bentuk rekonsiliasi politik pasca pemilu, di mana Presiden Prabowo ingin memperluas dukungan politik dengan merangkul tokoh-tokoh dari pihak oposisi, termasuk Tom Lembong. Meski abolisi ini secara hukum sah karena telah melalui persetujuan DPR, Iwan meyakini ada dinamika politik nonformal yang turut berperan dalam prosesnya.
“Secara prosedural, abolisi sah. Tapi tak bisa dipungkiri, pasti ada komunikasi politik yang terjadi sebelumnya,” katanya.
Dalam pandangan Iwan, sejak awal, kasus Tom Lembong sudah mengundang kontroversi. Ia menyoroti bahwa unsur utama dalam tindak pidana, yakni niat jahat atau mens rea, tidak terbukti dalam sidang pengadilan. Ia bahkan menekankan bahwa Tom tidak menikmati keuntungan pribadi dari tindakan yang dituduhkan kepadanya.
“Putusan tersebut terasa dipaksakan. Padahal prinsip dalam hukum pidana, lebih baik membebaskan orang bersalah ketimbang menghukum yang tidak bersalah,” tegasnya.
Lebih jauh, Iwan mengulas sejarah penggunaan hak abolisi oleh Presiden RI sebelumnya, seperti oleh Soekarno terhadap gerakan PRRI/Permesta pada 1961 dan Soeharto terhadap Komando Jihad di era 1970-an. Namun, setelah era reformasi, praktik abolisi tidak lagi sepenuhnya berada di tangan presiden, melainkan harus melibatkan DPR sebagai bentuk kontrol kekuasaan.
Di sisi lain, Iwan mengingatkan pentingnya independensi lembaga peradilan. Namun konstitusi Indonesia justru memberikan ruang kepada presiden untuk masuk ke dalam proses hukum melalui instrumen abolisi, yang bisa menimbulkan dilema hukum.
“Ini harus menjadi refleksi bagi dunia peradilan. Banyak putusan kasus korupsi yang membuat publik kecewa dan mempertanyakan integritas hakim,” ucapnya.
Iwan menyimpulkan bahwa abolisi terhadap Tom Lembong bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Presiden menilai telah terjadi penyimpangan dalam proses peradilan. Ia berharap langkah ini menjadi alarm bagi lembaga yudikatif agar lebih objektif dan bersih dalam menjalankan tugasnya.