WARTAXPRESS.com – Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menyuarakan kekhawatiran terkait potensi pelanggaran hukum jika pemerintah menyetujui pengalihan data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke Amerika Serikat (AS), yang disebut-sebut berkaitan dengan kesepakatan tarif impor sebesar 19% dengan Presiden AS, Donald Trump.
Ia menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang kualitasnya sebanding dengan regulasi perlindungan data global seperti General Data Protection Regulation (GDPR) milik Uni Eropa.
“UU PDP kita setara dengan GDPR Uni Eropa yang bersifat komprehensif. Sedangkan Amerika Serikat hingga kini belum memiliki regulasi yang serupa. Ini bisa menjadi persoalan hukum,” ujar TB Hasanuddin.
Tak hanya soal hukum, ia juga menyoroti aspek konstitusional yang dapat terdampak, terutama hak atas kepemilikan pribadi sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Ia menilai, data pribadi termasuk bagian dari hak milik yang tidak boleh diakses atau dialihkan secara sembarangan.
“Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan pribadi, dan tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Maka, pengelolaan data pribadi harus ekstra hati-hati,” jelasnya.
Hasanuddin juga mengingatkan bahwa hingga saat ini pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur prosedur alih data lintas negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 56 ayat (3) UU PDP.
Karena itu, ia mendesak pemerintah untuk tidak gegabah dalam membuka akses data warga kepada pihak asing, tanpa adanya kepastian hukum dan perlindungan maksimal bagi rakyat.
“Pemerintah harus terbuka dan cermat dalam menjalin kerja sama yang menyangkut data pribadi warga negara. Jangan sampai kedaulatan kita dilanggar oleh kepentingan asing,” tegasnya.
Tanggapan Menkomdigi
Menanggapi isu ini, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan bahwa data pribadi warga negara tetap berada dalam perlindungan hukum yang ketat.
Ia memastikan bahwa kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat yang diumumkan Gedung Putih pada 22 Juli 2025 bukan berarti memberikan akses bebas terhadap data pribadi.
“Kesepakatan tersebut merupakan dasar hukum yang sah, aman, dan terukur untuk mengatur lalu lintas data pribadi antarnegara, bukan bentuk penyerahan data secara lepas,” jelas Meutya.