WARTAXPRESS.com — Fenomena mengejutkan terjadi di Kota Tangerang Selatan. Sebanyak 31 perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memilih menggugat cerai suami mereka ke Pengadilan Agama, alih-alih melapor ke kepolisian.
Keputusan ini bukan tanpa alasan. Para korban menilai proses hukum di kepolisian memakan waktu lama dan berbelit-belit, sementara jalur perdata melalui gugatan cerai dianggap lebih cepat memberi rasa aman dan kejelasan status hukum.
Dalam kurun waktu hanya satu bulan, Layanan Bantuan Hukum Majelis Hukum dan HAM (MHH) PDM Kota Tangerang Selatan menerima puluhan permohonan bantuan dari perempuan korban KDRT, yang mencakup kekerasan fisik, psikis, hingga penelantaran ekonomi.
“Seluruhnya memilih jalur perceraian. Tak satu pun yang melanjutkan kasus ke pidana,” ujar Sekretaris MHH Tangsel, Alvin Esa Priatna, Sabtu 1 November 2025.
Dari jumlah tersebut, sembilan perempuan telah resmi menggugat cerai di Pengadilan Agama Tigaraksa. Sidang perdana mereka digelar secara serentak melalui sidang keliling di Balai Ratu Permai, Ciputat, Tangerang Selatan.
Para korban mendapat pendampingan hukum dari tiga lembaga, yakni MHH Muhammadiyah Tangsel, LBH Keadilan, dan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah.
Ketua Posbakum ‘Aisyiyah Tangsel, Halimah Humayrah Tuanaya, menilai keputusan para korban menggugat cerai merupakan bentuk keberanian dan langkah nyata untuk menyelamatkan diri.
“Gugatan cerai ini adalah cara mereka mencari keadilan dan perlindungan dari situasi KDRT yang dialami,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur LBH Keadilan, Nurbayu Susandra, menegaskan komitmen lembaganya untuk terus mendampingi para korban hingga proses hukum selesai.
“Kami memastikan perempuan korban mendapat akses keadilan yang layak. Pendampingan ini bentuk nyata komitmen kami terhadap perlindungan perempuan dan anak,” tegasnya.
Fenomena banyaknya korban yang memilih jalur perceraian dibanding pidana menunjukkan masih lemahnya mekanisme perlindungan cepat dan responsif bagi korban KDRT di Indonesia.









