WARTAXPRESS.com – Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali mencuat ke permukaan dengan tajam, seiring dengan keputusan Presiden Donald Trump yang menaikkan tarif impor barang dari Tiongkok menjadi 145 persen.
Langkah dramatis ini menjadi aksi keempat sejak Januari dan menandai eskalasi tajam dalam konflik ekonomi antara dua raksasa dunia.
Sementara itu, Presiden Xi Jinping tak tinggal diam.
Pemerintah Tiongkok membalas dengan menaikkan tarif atas barang buatan AS menjadi 84 persen serta memberlakukan pembatasan ekspor atas sumber daya vital, termasuk mineral penting dan produk farmasi.
Langkah saling balas ini memicu kekhawatiran global akan babak baru perang dagang yang tak hanya akan mengguncang dua negara, tapi juga ekonomi dunia.
Amerika dan Tiongkok menyumbang lebih dari 40 persen PDB global, menjadikan setiap kebijakan perdagangan mereka sebagai variabel penting dalam stabilitas ekonomi internasional.
“Jika tarif seperti ini diberlakukan dalam jangka panjang, kita bisa menyaksikan resesi global,” ujar Josh Lipsky dari Atlantic Council.
Langkah Trump disebut-sebut sebagai bagian dari strategi menekan Beijing untuk bernegosiasi.
Namun, para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan ini justru memperbesar ketidakpastian dan memicu inflasi.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengisyaratkan bahwa “semua opsi terbuka” untuk menekan Tiongkok.
Sejumlah anggota Kongres bahkan mendorong regulasi yang memperketat akses perusahaan Tiongkok terhadap pasar modal AS.
“Saya tidak yakin ada tarif yang cukup tinggi untuk menghentikan China,” tegas Senator Rick Scott, sekutu dekat Trump.
Di sisi lain, Trump menunjukkan ambivalensi. Ia menyebut Presiden Xi sebagai “teman” dan menilai Tiongkok sebenarnya ingin membuat kesepakatan dagang
Namun, simpati tersebut tak menghapus kenyataan bahwa ketegangan terus meningkat tanpa jalan keluar yang jelas.
Pakar hubungan internasional di Beijing, Wang Yiwei, menggambarkan situasi ini sebagai pertarungan ideologi antara kebangkitan besar bangsa Tiongkok dan make America great again.
“Selama tidak ada titik temu antara dua visi besar ini, decoupling adalah keniscayaan,” kata Wang.
Langkah balasan Tiongkok diperkirakan tak hanya berhenti pada tarif.
Analis memperkirakan Beijing bisa menjual obligasi pemerintah AS secara besar-besaran, mengganggu pasar keuangan, atau bahkan menahan ekspor barang-barang krusial bagi industri AS seperti semikonduktor dan logam tanah jarang.
Sementara beberapa pengamat menyerukan de-eskalasi, suara-suara keras di sekitar Trump justru melihat ini sebagai momen untuk “menghantam habis-habisan” Tiongkok.
Namun, analis senior Michael Pillsbury dari Heritage Foundation menyarankan jalur diplomasi rahasia sebagai jalan keluar.
“Tiongkok kebingungan menghadapi situasi ini. Kita harus bantu mereka memahami solusi,” ujarnya.