WARTAXPRESS.com – Dalam kurun waktu hanya tiga bulan pertama tahun 2025, Indonesia dikejutkan oleh enam insiden teror terhadap jurnalis.
Praktiksi Hukum Unpam Halimah Humayrah menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi kebebasan pers yang dinilainya semakin mengkhawatirkan.
“Prihatin sekali, dalam tiga bulan terjadi enam peristiwa yang dialami teman-teman wartawan,” ujar Halimah saat diwawancarai, Senin (7/4).
Halimah, yang juga menjabat sebagai Pengurus Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, menegaskan bahwa serangkaian teror tersebut bukan persoalan sepele, melainkan sinyal darurat bagi demokrasi di Indonesia.
Rangkaian ancaman terhadap wartawan ini dimulai pada 27 Februari 2025, ketika Adhyasta Dirgantara, jurnalis Kompas.com, diancam oleh ajudan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Tidak lama berselang, pada 19 Maret, wartawan Tempo Francisca Christy Rosana, atau yang akrab disapa Cica, menerima kiriman kepala babi sebuah bentuk teror yang sarat pesan intimidatif.
Ironisnya, hanya tiga hari kemudian, Cica kembali diteror dengan bangkai tikus, bersamaan dengan lima rekan jurnalisnya yang tergabung dalam penyiaran siniar Bocor Alus.
Yang paling mencengangkan, kata Halimah, adalah kasus dugaan femisida terhadap jurnalis perempuan berinisial J oleh oknum TNI Angkatan Laut pada 22 Maret.
Peristiwa itu tak hanya menunjukkan kekerasan ekstrem terhadap wartawan, tetapi juga menyorot lemahnya perlindungan hukum terhadap jurnalis perempuan.
Pada 4 April, wartawan SW ditemukan meninggal di Hotel D’Paragon, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut kematian tersebut sebagai “tidak wajar” dan mendesak penyelidikan menyeluruh.
Belum reda gejolak itu, insiden terbaru terjadi pada 5 April di Semarang, ketika sejumlah wartawan mengalami pemukulan dan ancaman oleh ajudan Kapolri.
Halimah menekankan bahwa seluruh peristiwa ini tidak dapat dipandang sekadar sebagai masalah individu.
“Ini bentuk intimidasi nyata yang ditujukan untuk membungkam kebebasan pers dan mengancam keselamatan jurnalis secara umum,” katanya tegas.
Ia menyerukan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, untuk bertindak profesional, transparan, dan tidak pandang bulu dalam menangani kasus-kasus ini.
“Peristiwa yang melibatkan oknum TNI harus dibawa ke peradilan umum, bukan diselesaikan secara internal,” ujarnya.
Terkait tindakan ajudan Panglima TNI dan ajudan Kapolri, Halimah menilai permintaan maaf saja tidak cukup.
“Copot dari jabatannya sebagai ajudan, dan proses hukum harus dijalankan secara tegas,” pungkasnya.